Friday, March 25, 2011

Kisah Perjalanan Selembar Lusuh Rp. 5.000-an


"Aaaaaaaargh...!!" Teriakku sangat keras, refleks ketika aku dibuang dari atas pesawat. 
Ada orang "gila" yang sedang mengadakan launching buku marketing yang ditulisnya, dengan cara membuang aku bersama teman-temanku lembaran rupiah yang lain, dan menjadikannya momen yang dinamai "hujan uang". 
Aku adalah selembar uang Rp 5.000-an, tubuhku yang masih mulus melayang sejauh-jauhnya diterpa angin yang sangat kencang, dari atas pesawat itulah kisah perjalananku dimulai, karena sehari sebelumnya Tim Sukses Marketing itu baru saja membawaku dari Bank. Sedangkan di bawah sana, ratusan warga sudah beramai-ramai bersiap memperebutkan aku dan teman-temanku. 
Sekitar 30 centimeter dari permukaan tanah, seorang ibu paruh baya dan seorang pemuda 20-an tahun bersamaan menangkapku, tubuhku hampir saja terbagi 2, tapi sepertinya tenaga pemuda itu lebih kuat, dengan sigapnya dia menarikku, tubuhku teremas tangan kekarnya, dan sesaat kemudian tubuhku sudah masuk kantong celananya bersama dengan beberapa temanku yang sudah lebih dahulu tertangkap. 
"Mmmhh, baunyaaa celana mas ini, sepertinya sudah berminggu-minggu tidak dicuci.." Kataku dalam hati. 
"Wah, benar-benar tersiksa aku.." Sambil tetap berusaha bersabar menahan diri. 
Tak lama setelah aku tertangkap dan masuk ke kantong celana pemuda tadi, beberapa temanku menyusul masuk; satu lembar, dua lembar, sepuluh lembar, dan entah berapa lembar lagi yang masuk, sepertinya pemuda ini sangat cekatan. Tibalah saatnya pemuda tadi pulang ke rumah, dan mengeluarkan aku dan teman-temanku dari kantong celananya, disusun rapi berdasarkan nominal uang dan kemudian dihitung. 
"Dua ratus delapan puluh, dua ratus delapan puluh lima, dua ratus delapan puluh enam ribu rupiah, alhamdulillah, lumayaaan..!" Kata pemuda tadi gembira, kemudian mencium kami sebelum akhirnya memasukkan lagi kami ke kantong celana kumalnya tadi. 
"Yah, nginep di tempat pengap dan bau lagi, nih.." Keluhku tanpa bisa menawar. 
Sehari kemudian aku dan teman-temanku dibawa ke toko sepatu di sebuah pasar tradisional. Kulihat pemuda ini sangat gembira, karena pada akhirnya dia bisa membeli sepasang sepatu yang selama ini dia inginkan. 
"Wah, aku akhirnya bisa pakai sepatu keren ini pada saat pernikahan kakakku hari minggu nanti.." Katanya penuh senyum sambil menenteng kantong plastik merah bercap nama toko sepatu tadi. 
"Ah, nyamannya.." Akhirnya aku bisa beristirahat sejenak di dalam mesin kasir toko sepatu, tersusun rapi bersama teman-teman baruku. 
Satu jam kemudian, aku terbangun dari istirahatku karena tiba-tiba aku dikeluarkan dari mesin kasir, ternyata ada tukang parkir yang menukarkan recehan hasil dari sewa parkir sepanjang hari itu dengan aku dan beberapa lembar teman-temanku. Setelah dihitung ulang oleh tukang parkir tadi, (yang akhirnya kutahu namanya Pak Sardi), kami dilipat dua dan kemudian dimasukkan ke dalam saku sebelah kiri baju parkir warna oranye yang dia pakai.
 Sampai di rumah kontrakan Pak Sardi, kami dikeluarkan dari saku dan diserahkan ke istrinya. "Alhamdulillah, lumayan rejeki kita hari ini. Gimana kesehatan Danang, Mak?" Tanya Pak Sardi sambil memegang dahi seorang anak laki-laki yang sedang terbaring lemah dan menggigil kedinginan di atas sebuah ranjang kumuh di ruangan sempit itu. 
"Mak juga bingung, Pak. Sepertinya semakin parah.." Kata Mak Sardi, garis wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. 
"Sampai sekarang belum juga terkumpul uang untuk sekedar membawa Danang ke Rumah Sakit dan beli obatnya, uang yang bapak bawa pulang kemarin sudah habis untuk beli beras.." Kata Mak Sardi lirih. 
"Mak, coba itung lagi uang yang kubawa tadi, sepertinya cukup untuk membeli obat di apotik, secepatnya saja, Mak. Demam Danang biar segera turun." Kata Pak Sardi. 
Mak Sardi mengambil kami kembali yang tadi dia masukkan ke dalam kutang yang dipakainya, dan menghitungnya. 
"Alhamdulillah, iya Pak sepertinya cukup untuk beli obat dan untuk bawa Danang ke Puskesmas besok pagi." Seketika aku merasakan kegembiraan Mak Sardi dari raut wajahnya. Saat itu juga kami dibawa ke sebuah apotik di ujung jalan raya, sebagian dari kami dipakai untuk membayar satu dosis obat demam. Satu kantong plastik berisi paracetamol dan ibuprofen dengan terburu-buru dibawanya pulang, sampai di rumah segera diminumkan ke anaknya, setelah sebelumnya makan beberapa suap bubur. Beberapa saat kemudian, terdengar dengkur si Danang, terlihat sangat pulas. Raut lega terpancar dari wajah Pak Sardi dan Istri saat melihat nyenyak tidur anak satu-satunya itu.
Keesokan harinya, Danang kelihatan lebih segar dan sangat berkurang demamnya, dan rencananya pagi itu Mak Sardi akan membawanya ke Puskesmas, biar segera sembuh katanya. Wajah Mak Sardi terlihat ceria, sambil membawaku dan beberapa lembar temanku sisa beli obat  semalam, Mak Sardi pergi membawa Danang ke Puskesmas dengan semangat, akupun demikian, merasakan sangat bangga telah diciptakan menjadi selembar uang, menjadi penolong hidup seorang anak yang sedang sakit. 
Perjalananku pun berlanjut, setelah sejenak di dalam kasir Puskesmas, oleh salah satu karyawan aku digunakan untuk membeli air mineral di sebuah warung, dan entah gimana ceritanya sekarang aku sudah ada di sebuah rumah salah satu pejabat tinggi negara. 
Tubuhku sangat capek menempuh petualangan selama ini, sehingga membuat penampilanku menjadi terlihat lusuh, aku ditaruh begitu saja di atas sebuah meja di dalam kamar utama, bersama sebungkus rokok filter dan sebuah korek gas. 
"Pa.., koleksi tas Hermes terbaru sudah keluar lho! Kapan yuk kita ambil ke Singapore?" Istri pejabat itu berkata manja pada suaminya. 
"Mama kan sudah punya banyak, tidak perlu beli lagi dong, sayanglah harganya kan mahal banget.." Jawab sang suami. 
"Ini limited edition lho! Harganya cuma 250 juta, kok. Ayo dong, Pa..!" Istrinya mulai merengek. 
"Pa..! Ayo dong..!" Rengek istrinya lagi. 
"Iya deh, besok kita ke Singapore." Mungkin karena tidak tahan dengan rengekan sang istri, suami akhirnya mengabulkan permintaan istrinya. 
Aku terkejut mendengar percakapan suami istri pejabat tinggi itu, terpukau seperti tak percaya. 
Dua hari berikutnya, aku masih tergeletak di atas meja di dalam kamar utama, tapi kali ini sudah tertata rapi bersama dengan beberapa buku yang memang sengaja ditaruh disana oleh pemiliknya, kemarin pagi pembantu rumah sudah merapikan ruangan. Tadi siang, pasangan suami istri pejabat itu baru saja pulang dari Singapore. 
"Gila, barang di toko-toko sepanjang Orchard Street keren-keren, ya. Untung kita datang tepat waktu, jadi masih banyak barang yang bisa kita beli." Kata istri dengan semangat. 
"Nih lihat, Pa! Tas-nya bagus kan, ini sepatunya juga, sengaja mama pilih gaun dengan warna senada dengan sepatu dan tas ini, juga kalung dan aksesori-aksesori ini, semuanya keren. Makasih Papa!" Kata sang istri sambil mencium mesra pipi suaminya. 
"Papa akan lakukan apa saja asalkan Mama bahagia.." Jawab sang suami tak kalah mesranya. 
Aku semakin terkejut dengan apa yang kudengar barusan. "Berapa ratus juta sudah mereka keluarkan untuk sekali belanja ini, ya?" 
Mendengar itu semua, aku menjadi semakin tidak berarti berada di tengah-tengah keluarga ini. Bayangkan, apakah masih ada harganya selembar lusuh uang Rp 5.000 dibandingkan dengan ratusan juta, milyaran rupiah yang mereka miliki dan hambur-hamburkan? 
"Tuhan, izinkanlah aku untuk bisa kembali ke dalam genggaman keluarga sederhana seperti keluarga Pak Sardi, agar mereka bisa menggunakanku untuk membeli beras, agar mereka bisa menggunakanku untuk menyambung nyawa di kehidupan keseharian mereka." Doaku sambil menangis memohon kepada Yang Kuasa. 
"Tuhan, kembalikan aku ke tengah-tengah keluarga yang membutuhkanku, biarkan aku menjadi sesuatu yang berharga untuk mereka.." Doa-doa selalu kupanjatkan tanpa henti, tapi apa yang terjadi denganku? 
Sampai saat ini aku masih saja tergeletak terabaikan di atas meja, tertumpuk bersama buku-buku di kamar utama pasangan suami istri pejabat tinggi itu, sambil setiap hari mendengarkan percakapan mereka, percakapan orang dengan nafsu materialisme yang tidak ada puasnya..

Jakarta, 19 Maret 2011
Disinilah letak keadilanMu yang sebenarnya, Tuhan..

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home