Friday, March 25, 2011

Pagar Makan... (dan itu adalah aku)


Aku tahu kalau yang aku lakukan ini adalah sebuah dosa besar, tapi otakku ternyata memang sedang tidak waras. 
"Kamu berhak untuk merasakan kebahagiaan hidup, Ann.." Kataku sambil menggenggam tangan dan mempererat pelukan tubuh Anne, salah satu murid ngajiku. 
                                                               ***
Oh ya, aku adalah seorang laki-laki lajang guru ngaji privat yang tinggal di daerah Jakarta Selatan, tahun ini usiaku genap 32. Kebanyakan murid privatku berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas, sehingga mau tidak mau berpengaruh pada pola berpikir dan pola hidup keseharianku juga; mulai dari pakaian, gadget, hingga aksesoris yang aku kenakan, berbusana muslim tapi sangat modis dan jauh dari kesan seorang guru ngaji yang biasa ada di kampung-kampung. Image ini sengaja aku buat agar aku punya nilai lebih dan para muridku merasa nyaman denganku. 
Anne adalah salah satu muridku yang sudah belajar denganku selama 6 bulan terakhir ini. Awalnya biasa saja, sama dengan muridku yang lain, setiap pukul 16.00 tiga kali seminggu aku datang ke rumahnya, di sebuah ruang baca di rumahnya aku memberikan pelajaran membaca Al Quran untuk Anne.
Semuanya berjalan dengan wajar; aku datang, mengajar, selesai, minum dan makan kue secukupnya, dan kemudian pulang, sesekali aku dan Anne ngobrol ringan sejenak sebelum aku pulang. 
Semakin hari aku dan Anne semakin akrab, yang pada akhirnya kami semakin nyaman untuk berbagi cerita berbagai macam hal, dan waktunyapun lebih intens, kadang sebelum belajar ngaji dimulai, ketika tengah belajar atau pada saat menjelang aku pulang. 
Memang status pekerjaanku ini memungkinkan aku untuk bisa hanya berduaan saja dalam satu ruangan tertutup dengan murid-muridku, termasuk dengan Anne, tanpa membuat siapapun curiga. 
Hingga pada suatu waktu, Anne cerita kalau selama ini hidupnya sangat menderita. Sebenarnya aku tidak menyangka kalau Anne yang selama ini aku lihat hidup dengan bergelimang kekayaan materi; uang, rumah mewah, mobil mewah, barang-barang ber-merk, wajah cantik, suami sukses, 2 anak yang sangat lucu, dan berbagai privillege dalam keseharian, ternyata tidak bisa menikmati hidupnya. 
"Suamiku sangat dingin.." Katanya sambil berusaha menahan air mata yang pada akhirnya juga menetes jatuh di atas gamis yang dia kenakan.
 Dari kelanjutan ceritanya, aku tahu bahwa suaminya yang merupakan pengusaha properti sukses tidak pernah lagi memberikan nafkah bathin kepadanya. 
"Ustadz, aku kan seorang perempuan biasa juga, yang sangat butuh untuk dipeluk, butuh untuk dicium, dan masih memiliki hasrat seksual. Usiaku masih 30 tahun saat ini, aku benar-benar merasa tersiksa, Ustadz.." Tangisnya mulai pecah, reflek aku memegangi tangannya, berusaha untuk membuat dia tenang. Tidak aku duga, Anne malah memelukku erat sambil terus menangis, wajahnya yang penuh air mata bersandar pada bahu kiriku, kurasakan hangat tetes air matanya mulai membasahi baju koko-ku. 
Sesaat aku terkejut, tidak tahu harus berbuat apa. Pelukan seperti itu baru pertama kali aku rasakan, benar-benar aku merasakan hangat tubuhnya dan itu sangat nyaman untukku. Aku terus saja membiarkan Anne memelukku, karena diam-diam aku juga sangat menikmatinya, entah setan apa saja yang sudah merasuki aku. Sampai akhirnya dia merasa tenang dan pelan-pelan dia melepas pelukannya. 
"Maafkan aku, Ustadz.." Kata Anne sambil menyeka sisa-sisa air matanya. 
"Tidak apa-apa, yang terpenting kamu bisa tenang sekarang.." Terpaksa belajar ngaji untuk hari itu aku hentikan dulu, karena sebaiknya dia istirahat saja, setelah itu aku pamit pulang.
Pertemuan belajar berikutnya, aku datang seperti biasa, pukul empat sore.  Begitu sampai rumahnya, aku langsung masuk ke ruang baca, ruang yang biasa kami gunakan untuk belajar, tapi dari baju yang Anne pakai, sepertinya dia tidak siap untuk mengaji, pakaian casual bermotif bunga warna pink dengan warna sepatu yang senada, dan make up ringan membuat wajahnya terlihat sangat cantik sore itu. 
"Hari ini kita break dulu ya, ntar kita main keluar saja, biar gak bosan.." Katanya sambil mengarahkan jalanku keluar rumah menuju mobil Mercy Hitam keluaran terbaru yang sudah siap di depan pintu rumah, aku tidak sempat berkata lebih banyak lagi. Dengan sigap dia menyalakan mobil itu dan membawaku keluar menuju jalan raya.
"Kita mau kemana?" Tanyaku
"Tiga hari ini suamiku pergi ke rumah orangtuanya di Surabaya bersama anak-anakku, aku bilang ke suamiku kalau aku ada kerjaan bareng temenku yang gak bisa aku tinggalkan, makanya aku gak ikut." Katanya sambil tersenyum manja, senyum yang tidak biasanya dan tentu saja membuat hatiku berdebar. 
"Sekarang kita kan sedang gak ngaji, boleh ya aku panggil dengan Mas Fajar?" Tanya dia lembut, sambil sekilas senyum melirik ke wajahku, tangannya tetap berkonsentrasi pada kemudi mobil. 
"Bo.. bo.. boleh.." Sambil menyembunyikan debar hatiku, aku menganggukkan kepalaku, tanda setuju. 
"Mas Fajar, hari ini aku mau cari tempat yang nyaman untuk kita, agar aku leluasa bercerita dan curhat semua masalah yang benar-benar membuatku tertekan selama ini. Mas Fajar mau kan membantuku?" Katanya lembut dan penuh harap padaku. 
"Ten.. Tentu saja, Ann.." Terbata-bata aku menjawabnya, aku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Aku nurut saja pada setiap perkataan Anne sepanjang perjalanan, kata-katanya semakin lama terdengar semakin lembut dan semakin membuatku terbius dalam debaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. 
Mobil meluncur meninggalkan Kota Jakarta menuju ke arah Bogor, saat itu  aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan, tak tahu lagi apa yang aku pikirkan, yang ada hanya perasaan semakin tak menentu, dada yang semakin berdebar bergemuruh, dan sepertinya wajah dan telingaku memerah memanas. 
Saat itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi; tidak ingat akan tanggung jawab profesiku, tidak ingat orangtuaku, tidak ingat guru ngajiku, tidak ingat pesantrenku, tidak ingat Tuhanku, dan benar-benar tidak ingat suami dan anak-anak Anne. 
Sampai akhirnya mobil sudah membawa kami sampai di Puncak, Cisarua, Bogor, dan di salah satu villa yang disewakan disana, aku dan Anne menghabiskan 3 hari berduaan, sebelum suami dan anak-anak Anne pulang dari Surabaya. 
"Ah, setan apa saja yang sudah merasukiku?" Desisku

Jakarta,18 Maret 2011
Andaikan waktu bisa kuputar kembali..

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home