Friday, March 25, 2011

APE*S


"Jalannya hati-hati ya, nak.." Orangtuaku selalu mengingatkanku. 
"Tentu saja!!" Kataku sambil bercanda loncat-loncat acak ke kiri ke kanan kemana saja aku suka. 
"Nak, perhatikan jalanmu, jalan negeri ini sedang diperbaiki.." Tetap dengan lembut orangtuaku mengingatkanku. 
"Iya!! Ha.. Ha.. Ha.."  Dan tetap saja aku bercanda sambil loncat-loncat acak ke kiri ke kanan kemana saja aku mau, tak pedulikan betapa ramainya lalu-lintas di jalan yang kulalui saat terik siang ini, begitu semrawut karena memang tak sebanding antara banyaknya pengguna jalan beserta kendaraan masing-masing dengan kondisi infrastrukturnya. Panas matahari, jalanan rusak, debu, suara klakson, teriakan bersaut para pengguna jalan melebur menjadi satu, memekakkan telinga, dan menggusarkan hati.
Tak hanya aku yang berjalan serampangan, kulihat sekelilingku; satu orang, dua orang, lima orang, sepuluh orang, seratus orang, seribu orang, berjuta orang, berloncatan acak kesana kemari semaunya tak berarah. Terkadang kulihat mereka saling berbenturan, kemudian mereka terjatuh, kemudian mereka bangun, dan kemudian mereka loncat-loncak acak lagi semaunya. Satu waktu lainnya, ada yang berbenturan, tapi kali ini  mereka saling mendatangi, mereka saling mencaci dan kemudian teman-teman mereka saling berdatangan, berkelahi saling membela, bahkan beberapa diantaranya saling menikam, dan matilah sebagian mereka itu. 
"Nak, lihatlah dirimu, perhatikanlahlah jalanmu dan belajarlah dari sekelilingmu.." Kembali dengan lembut kata-kata orangtuaku mengingatkanku. 
"I i i.. iya.." Tercekat lidahku menjawab peringatan orangtuaku, tak terbayang jika aku menjadi salah satu orang yang kulihat di depan mataku ini. Kuhentikan loncatanku, dan sejenak aku terdiam ambil nafas panjang menenangkan diri. Pelan-pelan aku berusaha mengingat lagi cara berjalan yang benar, cara berjalan yang dahulu pernah diajarkan orangtuaku, cara berjalan yang dahulu pernah diajarkan para pengasuhku yang Tuhan telah tunjukkan untukku. 
Aku benar-benar berusaha memperbaiki jalanku, saat ini aku berjalan dengan lebih berhati-hati walaupun gejolak untuk bercanda loncat-loncatan masih mendesak nafas mudaku. 
Terus berjalan hati-hati, tetap memperhatikan langkahku sendiri, tetap menyapa sopan setiap pengguna jalan lain yang kebetulan berpapasan denganku, dan berusaha selalu menahan diri memberikan jalan kepada pengguna jalan sesekali ketika mereka terlihat terburu-buru dengan langkah mereka.
Semakin lama semakin nyaman aku melangkahkan jalanku dalam kehati-hatian, semakin jauh jarak yang telah tertempuh olehku, dan semakin asyik pula pemandangan yang aku nikmati. Pemandangan baru yang benar-benar beda, pemandangan yang benar-benar bagus dan jauh lebih memukau dibandingkan pemandangan waktu aku sedang belajar berjalan dulu)
"Bagus nak! Kami bangga padamu. Tetaplah jalan dengan hati-hati, ya.." Orangtuaku tak henti untuk tetap menasehatiku dengan lembut. 
Akhirnya, aku sampai di depan sebuah gedung yang sedang dibangun. Tak sengaja aku menginjak sebuah kerikil kecil disana. Seketika aku terjerembab, tubuhku terpuruk, terlihat menjadi sangat kotor, kulihat lututku berdarah, kurasakan sendi pinggangku terkilir, dan kerikil itu membuat mukaku lebam. 
"Aduh nak, kamu tidak apa-apa?" Kata-kata lembut orangtuaku kembali terdengar, kali ini aku merasakan ada kepanikan yang mendalam walaupun begitu berusahanya beliau menyembunyikannya. Tubuh rapuh orangtuaku berusaha mengangkatku, sepertinya sangat kesulitan karena tenaga beliau tak sebanding dengan bebanku. Kulihat sekeliling, kebanyakan orang tertawa melihatku, melihat apa yang telah terjadi denganku sambil beramai melangkah menjauh, sebagian lainnya kelihatan ikut sedih, tetapi tanpa mengurangi laju jalan mereka. Hal yang membuatku sedikit terhibur adalah kulihat sebagian dari mereka berhenti sejenak sambil menunjukkan ekspresi bela sungkawa, walaupun sedetik berikutnya mereka disibukkan lagi dengan langkah mereka masing-masing. 
Kini tinggal aku yang sedang terpuruk menahan sakit, bersama orangtuaku yang sedari tadi terus berusaha mengangkatku walaupun tetap kesulitan. 
"Kemana orang-orang yang selama ini selalu menemaniku bercanda loncat-loncatan ketika kakiku masih kuat untuk berjalan jauh dan bisa meloncat tinggi? Kemana mereka?" Sambil kulihat mencari sekeliling. 
"Ah, itu mereka!" Hatiku gembira mataku mendapati sosok mereka, sepertinya mereka juga sedang bercanda loncat-loncatan acak kesana kemari semau mereka bersama orang lain lagi yang kulihat loncatannya sangat lincah. 
"Hai!! Tolong aku, teman!" Teriakku parau sambil menahan sakit. "Hai teman!! Tolong aku!"Teriakan parauku terus berulang. 
Sepertinya tidak ada respon, kulihat beberapa orang temanku menoleh sesaat kepadaku, tapi kemudian mereka kembali loncat-loncat. 
"Ah, MONYET mereka semua!! Geramku menahan rasa kesal pada teman-temanku sekaligus menahan sakit di tubuhku. Kubayangkan lagi, bagaimana kondisi tubuhku sekarang jika aku masih berjalan sambil loncat-loncat acak semauku? Padahal aku kan sudah berjalan dengan hati-hati. Yah, memang untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. 
Aku masih tetap terpuruk kesakitan di depan gedung yang sedang dibangun di sebuah negeri dalam masa perbaikan ini.. 

Jakarta, 17 Maret 2011
Bapak, maafkan aku ya..


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home