Friday, March 25, 2011

Buat Bumi Maya (BBM)

"JelAz dunk! Ha.. Ha.. Ha..!! ;-D". Satu pesan dari Ranti terbaca di layar smartphone-ku.

"Ha.. Ha.. Ha..!! KaMu bz AJa, Ran!" Kuketik secepat mungkin dan kukirim balasan dari pesan Ranti tadi sambil tak dapat menahan tawaku.

"Ha.. Ha.. Ha..!!" Tidak lebih dari sepuluh detik kemudian balasan dari Ranti aku terima lagi.

Melalui BBM, salah satu fasilitas dari smartphone BlackBerry, aku dan Ranti selalu berkomunikasi sangat akrab. Setiap hari, seperti tidak ada bosannya kami saling menyapa, tidak peduli tempat dan tidak peduli waktu. Saat bersantai, maupun saat kerja, di rumah saat sendirian, ataupun saat di keramaian, terus saja kami berkomunikasi dengan sangat akrab.  Komunikasi serupa juga aku lakukan dengan teman-temanku lainnya, baik komunikasi secara personal maupun secara group.

Ranti merupakan salah satu teman yang kukenal dari teman SMA-ku, kami berkenalan waktu acara ulang tahun Yudha 2 bulan lalu. Aku dan Ranti tidak begitu banyak ngobrol waktu itu, hanya bertemu, salaman, kenalan, ngobrol basa-basi sedikit, saling tukar no HP dan PIN BB, kemudian dia dan teman SMA-ku pamit pulang karena ada acara lain. Setelah itu, kami lebih intens berkomunikasi lewat BBM.

"Eh, Qta Ktmuan yux!" Satu pesan dari Ranti aku terima waktu aku baru mau berangkat makan siang ke kantin saat jam istirahat kantor tiba.

"Wah, maU dOng!!" Balasku.

Akhirnya kami janjian untuk bertemu, sore jam 18.00 setelah pulang kerja di salah satu cafe sebuah mall di Jakarta Selatan.

Jam 18.10 aku baru sampai di tempat janjian, kemacetan Kota Jakarta memang luar biasa. Dengan bergegas aku masuk ke cafe itu, kulihat Ranti sudah duduk di sofa panjang warna merah menyala sambil memainkan BB di tangannya, dia memilih meja di sudut ruangan.

"Hai Ran!! Sorry gue telat.." Kataku, sambil terburu mendatangi meja-nya.

"It's OK, ayo duduk!" Dia mempersilahkanku duduk di kursi di depannya. Akupun segera melepaskan tas-ku dan menaruhnya di kursi sebelah kananku, dan duduk menyandarkan punggungku ke kursi. Kami duduk saling berhadapan, kursi yang aku duduki itu terasa sangat nyaman, maklumlah aktifitas di kantorku dan macet selama perjalanan pulang benar-benar membuat kepala berat, mata sepet, tulang belakang kaku, pantat penat, dan betis seperti mau meledak.

"Ah, nyamannya kursi ini.." Kataku yang langsung diiyakan oleh Ranti.

Berkebalikan dengan rasa nyaman kursi tadi, suasana pertemuan yang terjadi antara aku dan Ranti ternyata tidak demikian, aku merasakan pertemuan ini benar-benar kaku, sangat berbeda dibandingkan saat kami berkomunikasi lewat BBM. Bisa jadi disebabkan karena tubuhku yang kelelahan, atau mungkin juga karena perhatianku yang teralih karena harus membalas  PING!! teman-teman BB-ku yang lain, atau karena Ranti juga terlalu sibuk dengan BB di tangannya.
Satu jam akhirnya berlalu, tetapi tidak banyak hal yang aku dan Ranti bisa bicarakan, hanya sedikit basa-basi di sela-sela "kesibukan" dengan BB kami masing-masing.

"Wah, gue harus segera cabut, nih. Ada acara lain lagi nanti malem.." Kata Ranti setelah menghabiskan segelas Strawberry Milkshake-nya.

Selepas dia pergi, aku jadi kepikiran tentang momen pertemuan barusan, ada penyesalan di hatiku. "Mengapa aku sia-siakan pertemuanku dengan Ranti tadi?"

Aneh ya.. Mengapa aku bisa jauh lebih akrab berkomunikasi melalui BBM dibandingkan ketika harus bertemu dan berkomunikasi langsung? Aku jadi tersadar juga kalau selama ini aku telah mengabaikan orang-orang di sekitarku. Aku juga tersadar telah dibuat menjadi "autis" oleh alat kecil canggih ini.

Sampai di rumah, aku keluarkan kartu SIM dari BB-ku dan memasangkan kembali ke dalam HP monophonic-ku terdahulu yang telah teronggok di atas lemari baju-ku sejak 6 bulan yang lalu.

"Aku mau kehidupan nyataku kembali seperti dahulu..!" Kataku penuh keyakinan.


Jakarta 21 Maret 2011
Wah, jempolku pegel banget..

WELCOME to Robby

"Anjing tuh Boss-ku!!" Umpat Robby, salah satu temanku yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di bilangan Jakarta Selatan.

"Kenapa sih, Rob? Udah sambil duduk, sini.." Kataku sembari menarik sebuah kursi dan meletakkan di hadapanku, aku berusaha untuk menenangkan dia.

"Gak jelas masalahnya apa, ngomel-ngomeeel melulu." Kata dia mulai membuka masalahnya. Aku memperbaiki posisi mencondongkan badanku ke arahnya dan menatap dia, tanda aku tertarik dengan apa yang dia sampaikan.

"Kadang dia marah untuk hal-hal kecil atau malah hal-hal yang aku sendiri gak tahu jelas apa masalahnya. Paling jengkel, kalau dia marah tapi gak peduli apakah masalah itu ada sangkut pautnya denganku atau tidak." Kata Robby berapi-api. Kusodorkan sebotol air mineral yang sejak tadi aku beli dari sebuah swalayan di sebelah tempat kerjanya. Setelah meminumnya beberapa teguk, terlihat dia sudah mulai tenang.

Sebenarnya Robby baru saja ditelfon oleh Boss-nya yang sedang berada di kantor pusat, Boss-nya marah-marah lagi hanya karena urusan sepele, panjang lebar omelan Boss-nya harus Robby dengar.

"Aku jadi serba salah, Mas. Mau jawab salah, tidak jawabpun dianggap tidak mendengarkan, ya jadinya salah juga." Keluhnya lagi.

"Kalau ngomong seenaknya saja, seperti gak ada filter di otak dan mulutnya, nyerocos saja gak brenti-brenti!" Aku membiarkan Robby untuk terus saja bicara melepaskan uneg-unegnya, kasihan kalau terpendam terus di pikiran dia pikirku.

"Tapi anehnya, kalau Boss-ku ketemu Klien, dia tuh sangat ramah orangnya, sangat bersikap baik dan terlihat sopan." Imbuhnya.

Sampai di rumah, sebelum masuk, aku injak dan bersihkan telapak sepatuku di atas sebuah jalinan sabut kain bertuliskan WELCOME di depan pintu. Melihat "keset" itu, Aku jadi kepikiran dengan cerita Robby siang tadi.

"Kok sama, ya?" Pikiranku mulai bereaksi lagi. Benar, aku jadi membayangkan jika salah satu peran Robby di tempat pekerjaannya sama seperti keset tadi, ditaruh di depan pintu masuk, digunakan untuk membersihkan kotoran di telapak sepatu, biar lantai di dalam ruangan tidak kotor. Aku analog-kan keset itu dengan peran Robby di tempat kerjanya, Robby berperan untuk mendengarkan omelan Boss-nya, biar uneg-uneg di hati Boss hilang, dan pada akhirnya ketika bertemu dengan Klien-nya, Boss bisa berkomunikasi lebih nyaman.

Segera aku telfon Robby, dan aku sampaikan apa yang sedang aku pikirkan.

"Wah, beneran ANJING tuh Boss-ku!!" Umpat Robby dari seberang telfon.

Jakarta, 20 Maret 2011
Sing sabar yo, Mas..

Kisah Perjalanan Selembar Lusuh Rp. 5.000-an


"Aaaaaaaargh...!!" Teriakku sangat keras, refleks ketika aku dibuang dari atas pesawat. 
Ada orang "gila" yang sedang mengadakan launching buku marketing yang ditulisnya, dengan cara membuang aku bersama teman-temanku lembaran rupiah yang lain, dan menjadikannya momen yang dinamai "hujan uang". 
Aku adalah selembar uang Rp 5.000-an, tubuhku yang masih mulus melayang sejauh-jauhnya diterpa angin yang sangat kencang, dari atas pesawat itulah kisah perjalananku dimulai, karena sehari sebelumnya Tim Sukses Marketing itu baru saja membawaku dari Bank. Sedangkan di bawah sana, ratusan warga sudah beramai-ramai bersiap memperebutkan aku dan teman-temanku. 
Sekitar 30 centimeter dari permukaan tanah, seorang ibu paruh baya dan seorang pemuda 20-an tahun bersamaan menangkapku, tubuhku hampir saja terbagi 2, tapi sepertinya tenaga pemuda itu lebih kuat, dengan sigapnya dia menarikku, tubuhku teremas tangan kekarnya, dan sesaat kemudian tubuhku sudah masuk kantong celananya bersama dengan beberapa temanku yang sudah lebih dahulu tertangkap. 
"Mmmhh, baunyaaa celana mas ini, sepertinya sudah berminggu-minggu tidak dicuci.." Kataku dalam hati. 
"Wah, benar-benar tersiksa aku.." Sambil tetap berusaha bersabar menahan diri. 
Tak lama setelah aku tertangkap dan masuk ke kantong celana pemuda tadi, beberapa temanku menyusul masuk; satu lembar, dua lembar, sepuluh lembar, dan entah berapa lembar lagi yang masuk, sepertinya pemuda ini sangat cekatan. Tibalah saatnya pemuda tadi pulang ke rumah, dan mengeluarkan aku dan teman-temanku dari kantong celananya, disusun rapi berdasarkan nominal uang dan kemudian dihitung. 
"Dua ratus delapan puluh, dua ratus delapan puluh lima, dua ratus delapan puluh enam ribu rupiah, alhamdulillah, lumayaaan..!" Kata pemuda tadi gembira, kemudian mencium kami sebelum akhirnya memasukkan lagi kami ke kantong celana kumalnya tadi. 
"Yah, nginep di tempat pengap dan bau lagi, nih.." Keluhku tanpa bisa menawar. 
Sehari kemudian aku dan teman-temanku dibawa ke toko sepatu di sebuah pasar tradisional. Kulihat pemuda ini sangat gembira, karena pada akhirnya dia bisa membeli sepasang sepatu yang selama ini dia inginkan. 
"Wah, aku akhirnya bisa pakai sepatu keren ini pada saat pernikahan kakakku hari minggu nanti.." Katanya penuh senyum sambil menenteng kantong plastik merah bercap nama toko sepatu tadi. 
"Ah, nyamannya.." Akhirnya aku bisa beristirahat sejenak di dalam mesin kasir toko sepatu, tersusun rapi bersama teman-teman baruku. 
Satu jam kemudian, aku terbangun dari istirahatku karena tiba-tiba aku dikeluarkan dari mesin kasir, ternyata ada tukang parkir yang menukarkan recehan hasil dari sewa parkir sepanjang hari itu dengan aku dan beberapa lembar teman-temanku. Setelah dihitung ulang oleh tukang parkir tadi, (yang akhirnya kutahu namanya Pak Sardi), kami dilipat dua dan kemudian dimasukkan ke dalam saku sebelah kiri baju parkir warna oranye yang dia pakai.
 Sampai di rumah kontrakan Pak Sardi, kami dikeluarkan dari saku dan diserahkan ke istrinya. "Alhamdulillah, lumayan rejeki kita hari ini. Gimana kesehatan Danang, Mak?" Tanya Pak Sardi sambil memegang dahi seorang anak laki-laki yang sedang terbaring lemah dan menggigil kedinginan di atas sebuah ranjang kumuh di ruangan sempit itu. 
"Mak juga bingung, Pak. Sepertinya semakin parah.." Kata Mak Sardi, garis wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. 
"Sampai sekarang belum juga terkumpul uang untuk sekedar membawa Danang ke Rumah Sakit dan beli obatnya, uang yang bapak bawa pulang kemarin sudah habis untuk beli beras.." Kata Mak Sardi lirih. 
"Mak, coba itung lagi uang yang kubawa tadi, sepertinya cukup untuk membeli obat di apotik, secepatnya saja, Mak. Demam Danang biar segera turun." Kata Pak Sardi. 
Mak Sardi mengambil kami kembali yang tadi dia masukkan ke dalam kutang yang dipakainya, dan menghitungnya. 
"Alhamdulillah, iya Pak sepertinya cukup untuk beli obat dan untuk bawa Danang ke Puskesmas besok pagi." Seketika aku merasakan kegembiraan Mak Sardi dari raut wajahnya. Saat itu juga kami dibawa ke sebuah apotik di ujung jalan raya, sebagian dari kami dipakai untuk membayar satu dosis obat demam. Satu kantong plastik berisi paracetamol dan ibuprofen dengan terburu-buru dibawanya pulang, sampai di rumah segera diminumkan ke anaknya, setelah sebelumnya makan beberapa suap bubur. Beberapa saat kemudian, terdengar dengkur si Danang, terlihat sangat pulas. Raut lega terpancar dari wajah Pak Sardi dan Istri saat melihat nyenyak tidur anak satu-satunya itu.
Keesokan harinya, Danang kelihatan lebih segar dan sangat berkurang demamnya, dan rencananya pagi itu Mak Sardi akan membawanya ke Puskesmas, biar segera sembuh katanya. Wajah Mak Sardi terlihat ceria, sambil membawaku dan beberapa lembar temanku sisa beli obat  semalam, Mak Sardi pergi membawa Danang ke Puskesmas dengan semangat, akupun demikian, merasakan sangat bangga telah diciptakan menjadi selembar uang, menjadi penolong hidup seorang anak yang sedang sakit. 
Perjalananku pun berlanjut, setelah sejenak di dalam kasir Puskesmas, oleh salah satu karyawan aku digunakan untuk membeli air mineral di sebuah warung, dan entah gimana ceritanya sekarang aku sudah ada di sebuah rumah salah satu pejabat tinggi negara. 
Tubuhku sangat capek menempuh petualangan selama ini, sehingga membuat penampilanku menjadi terlihat lusuh, aku ditaruh begitu saja di atas sebuah meja di dalam kamar utama, bersama sebungkus rokok filter dan sebuah korek gas. 
"Pa.., koleksi tas Hermes terbaru sudah keluar lho! Kapan yuk kita ambil ke Singapore?" Istri pejabat itu berkata manja pada suaminya. 
"Mama kan sudah punya banyak, tidak perlu beli lagi dong, sayanglah harganya kan mahal banget.." Jawab sang suami. 
"Ini limited edition lho! Harganya cuma 250 juta, kok. Ayo dong, Pa..!" Istrinya mulai merengek. 
"Pa..! Ayo dong..!" Rengek istrinya lagi. 
"Iya deh, besok kita ke Singapore." Mungkin karena tidak tahan dengan rengekan sang istri, suami akhirnya mengabulkan permintaan istrinya. 
Aku terkejut mendengar percakapan suami istri pejabat tinggi itu, terpukau seperti tak percaya. 
Dua hari berikutnya, aku masih tergeletak di atas meja di dalam kamar utama, tapi kali ini sudah tertata rapi bersama dengan beberapa buku yang memang sengaja ditaruh disana oleh pemiliknya, kemarin pagi pembantu rumah sudah merapikan ruangan. Tadi siang, pasangan suami istri pejabat itu baru saja pulang dari Singapore. 
"Gila, barang di toko-toko sepanjang Orchard Street keren-keren, ya. Untung kita datang tepat waktu, jadi masih banyak barang yang bisa kita beli." Kata istri dengan semangat. 
"Nih lihat, Pa! Tas-nya bagus kan, ini sepatunya juga, sengaja mama pilih gaun dengan warna senada dengan sepatu dan tas ini, juga kalung dan aksesori-aksesori ini, semuanya keren. Makasih Papa!" Kata sang istri sambil mencium mesra pipi suaminya. 
"Papa akan lakukan apa saja asalkan Mama bahagia.." Jawab sang suami tak kalah mesranya. 
Aku semakin terkejut dengan apa yang kudengar barusan. "Berapa ratus juta sudah mereka keluarkan untuk sekali belanja ini, ya?" 
Mendengar itu semua, aku menjadi semakin tidak berarti berada di tengah-tengah keluarga ini. Bayangkan, apakah masih ada harganya selembar lusuh uang Rp 5.000 dibandingkan dengan ratusan juta, milyaran rupiah yang mereka miliki dan hambur-hamburkan? 
"Tuhan, izinkanlah aku untuk bisa kembali ke dalam genggaman keluarga sederhana seperti keluarga Pak Sardi, agar mereka bisa menggunakanku untuk membeli beras, agar mereka bisa menggunakanku untuk menyambung nyawa di kehidupan keseharian mereka." Doaku sambil menangis memohon kepada Yang Kuasa. 
"Tuhan, kembalikan aku ke tengah-tengah keluarga yang membutuhkanku, biarkan aku menjadi sesuatu yang berharga untuk mereka.." Doa-doa selalu kupanjatkan tanpa henti, tapi apa yang terjadi denganku? 
Sampai saat ini aku masih saja tergeletak terabaikan di atas meja, tertumpuk bersama buku-buku di kamar utama pasangan suami istri pejabat tinggi itu, sambil setiap hari mendengarkan percakapan mereka, percakapan orang dengan nafsu materialisme yang tidak ada puasnya..

Jakarta, 19 Maret 2011
Disinilah letak keadilanMu yang sebenarnya, Tuhan..

Pagar Makan... (dan itu adalah aku)


Aku tahu kalau yang aku lakukan ini adalah sebuah dosa besar, tapi otakku ternyata memang sedang tidak waras. 
"Kamu berhak untuk merasakan kebahagiaan hidup, Ann.." Kataku sambil menggenggam tangan dan mempererat pelukan tubuh Anne, salah satu murid ngajiku. 
                                                               ***
Oh ya, aku adalah seorang laki-laki lajang guru ngaji privat yang tinggal di daerah Jakarta Selatan, tahun ini usiaku genap 32. Kebanyakan murid privatku berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas, sehingga mau tidak mau berpengaruh pada pola berpikir dan pola hidup keseharianku juga; mulai dari pakaian, gadget, hingga aksesoris yang aku kenakan, berbusana muslim tapi sangat modis dan jauh dari kesan seorang guru ngaji yang biasa ada di kampung-kampung. Image ini sengaja aku buat agar aku punya nilai lebih dan para muridku merasa nyaman denganku. 
Anne adalah salah satu muridku yang sudah belajar denganku selama 6 bulan terakhir ini. Awalnya biasa saja, sama dengan muridku yang lain, setiap pukul 16.00 tiga kali seminggu aku datang ke rumahnya, di sebuah ruang baca di rumahnya aku memberikan pelajaran membaca Al Quran untuk Anne.
Semuanya berjalan dengan wajar; aku datang, mengajar, selesai, minum dan makan kue secukupnya, dan kemudian pulang, sesekali aku dan Anne ngobrol ringan sejenak sebelum aku pulang. 
Semakin hari aku dan Anne semakin akrab, yang pada akhirnya kami semakin nyaman untuk berbagi cerita berbagai macam hal, dan waktunyapun lebih intens, kadang sebelum belajar ngaji dimulai, ketika tengah belajar atau pada saat menjelang aku pulang. 
Memang status pekerjaanku ini memungkinkan aku untuk bisa hanya berduaan saja dalam satu ruangan tertutup dengan murid-muridku, termasuk dengan Anne, tanpa membuat siapapun curiga. 
Hingga pada suatu waktu, Anne cerita kalau selama ini hidupnya sangat menderita. Sebenarnya aku tidak menyangka kalau Anne yang selama ini aku lihat hidup dengan bergelimang kekayaan materi; uang, rumah mewah, mobil mewah, barang-barang ber-merk, wajah cantik, suami sukses, 2 anak yang sangat lucu, dan berbagai privillege dalam keseharian, ternyata tidak bisa menikmati hidupnya. 
"Suamiku sangat dingin.." Katanya sambil berusaha menahan air mata yang pada akhirnya juga menetes jatuh di atas gamis yang dia kenakan.
 Dari kelanjutan ceritanya, aku tahu bahwa suaminya yang merupakan pengusaha properti sukses tidak pernah lagi memberikan nafkah bathin kepadanya. 
"Ustadz, aku kan seorang perempuan biasa juga, yang sangat butuh untuk dipeluk, butuh untuk dicium, dan masih memiliki hasrat seksual. Usiaku masih 30 tahun saat ini, aku benar-benar merasa tersiksa, Ustadz.." Tangisnya mulai pecah, reflek aku memegangi tangannya, berusaha untuk membuat dia tenang. Tidak aku duga, Anne malah memelukku erat sambil terus menangis, wajahnya yang penuh air mata bersandar pada bahu kiriku, kurasakan hangat tetes air matanya mulai membasahi baju koko-ku. 
Sesaat aku terkejut, tidak tahu harus berbuat apa. Pelukan seperti itu baru pertama kali aku rasakan, benar-benar aku merasakan hangat tubuhnya dan itu sangat nyaman untukku. Aku terus saja membiarkan Anne memelukku, karena diam-diam aku juga sangat menikmatinya, entah setan apa saja yang sudah merasuki aku. Sampai akhirnya dia merasa tenang dan pelan-pelan dia melepas pelukannya. 
"Maafkan aku, Ustadz.." Kata Anne sambil menyeka sisa-sisa air matanya. 
"Tidak apa-apa, yang terpenting kamu bisa tenang sekarang.." Terpaksa belajar ngaji untuk hari itu aku hentikan dulu, karena sebaiknya dia istirahat saja, setelah itu aku pamit pulang.
Pertemuan belajar berikutnya, aku datang seperti biasa, pukul empat sore.  Begitu sampai rumahnya, aku langsung masuk ke ruang baca, ruang yang biasa kami gunakan untuk belajar, tapi dari baju yang Anne pakai, sepertinya dia tidak siap untuk mengaji, pakaian casual bermotif bunga warna pink dengan warna sepatu yang senada, dan make up ringan membuat wajahnya terlihat sangat cantik sore itu. 
"Hari ini kita break dulu ya, ntar kita main keluar saja, biar gak bosan.." Katanya sambil mengarahkan jalanku keluar rumah menuju mobil Mercy Hitam keluaran terbaru yang sudah siap di depan pintu rumah, aku tidak sempat berkata lebih banyak lagi. Dengan sigap dia menyalakan mobil itu dan membawaku keluar menuju jalan raya.
"Kita mau kemana?" Tanyaku
"Tiga hari ini suamiku pergi ke rumah orangtuanya di Surabaya bersama anak-anakku, aku bilang ke suamiku kalau aku ada kerjaan bareng temenku yang gak bisa aku tinggalkan, makanya aku gak ikut." Katanya sambil tersenyum manja, senyum yang tidak biasanya dan tentu saja membuat hatiku berdebar. 
"Sekarang kita kan sedang gak ngaji, boleh ya aku panggil dengan Mas Fajar?" Tanya dia lembut, sambil sekilas senyum melirik ke wajahku, tangannya tetap berkonsentrasi pada kemudi mobil. 
"Bo.. bo.. boleh.." Sambil menyembunyikan debar hatiku, aku menganggukkan kepalaku, tanda setuju. 
"Mas Fajar, hari ini aku mau cari tempat yang nyaman untuk kita, agar aku leluasa bercerita dan curhat semua masalah yang benar-benar membuatku tertekan selama ini. Mas Fajar mau kan membantuku?" Katanya lembut dan penuh harap padaku. 
"Ten.. Tentu saja, Ann.." Terbata-bata aku menjawabnya, aku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Aku nurut saja pada setiap perkataan Anne sepanjang perjalanan, kata-katanya semakin lama terdengar semakin lembut dan semakin membuatku terbius dalam debaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. 
Mobil meluncur meninggalkan Kota Jakarta menuju ke arah Bogor, saat itu  aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan, tak tahu lagi apa yang aku pikirkan, yang ada hanya perasaan semakin tak menentu, dada yang semakin berdebar bergemuruh, dan sepertinya wajah dan telingaku memerah memanas. 
Saat itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi; tidak ingat akan tanggung jawab profesiku, tidak ingat orangtuaku, tidak ingat guru ngajiku, tidak ingat pesantrenku, tidak ingat Tuhanku, dan benar-benar tidak ingat suami dan anak-anak Anne. 
Sampai akhirnya mobil sudah membawa kami sampai di Puncak, Cisarua, Bogor, dan di salah satu villa yang disewakan disana, aku dan Anne menghabiskan 3 hari berduaan, sebelum suami dan anak-anak Anne pulang dari Surabaya. 
"Ah, setan apa saja yang sudah merasukiku?" Desisku

Jakarta,18 Maret 2011
Andaikan waktu bisa kuputar kembali..

APE*S


"Jalannya hati-hati ya, nak.." Orangtuaku selalu mengingatkanku. 
"Tentu saja!!" Kataku sambil bercanda loncat-loncat acak ke kiri ke kanan kemana saja aku suka. 
"Nak, perhatikan jalanmu, jalan negeri ini sedang diperbaiki.." Tetap dengan lembut orangtuaku mengingatkanku. 
"Iya!! Ha.. Ha.. Ha.."  Dan tetap saja aku bercanda sambil loncat-loncat acak ke kiri ke kanan kemana saja aku mau, tak pedulikan betapa ramainya lalu-lintas di jalan yang kulalui saat terik siang ini, begitu semrawut karena memang tak sebanding antara banyaknya pengguna jalan beserta kendaraan masing-masing dengan kondisi infrastrukturnya. Panas matahari, jalanan rusak, debu, suara klakson, teriakan bersaut para pengguna jalan melebur menjadi satu, memekakkan telinga, dan menggusarkan hati.
Tak hanya aku yang berjalan serampangan, kulihat sekelilingku; satu orang, dua orang, lima orang, sepuluh orang, seratus orang, seribu orang, berjuta orang, berloncatan acak kesana kemari semaunya tak berarah. Terkadang kulihat mereka saling berbenturan, kemudian mereka terjatuh, kemudian mereka bangun, dan kemudian mereka loncat-loncak acak lagi semaunya. Satu waktu lainnya, ada yang berbenturan, tapi kali ini  mereka saling mendatangi, mereka saling mencaci dan kemudian teman-teman mereka saling berdatangan, berkelahi saling membela, bahkan beberapa diantaranya saling menikam, dan matilah sebagian mereka itu. 
"Nak, lihatlah dirimu, perhatikanlahlah jalanmu dan belajarlah dari sekelilingmu.." Kembali dengan lembut kata-kata orangtuaku mengingatkanku. 
"I i i.. iya.." Tercekat lidahku menjawab peringatan orangtuaku, tak terbayang jika aku menjadi salah satu orang yang kulihat di depan mataku ini. Kuhentikan loncatanku, dan sejenak aku terdiam ambil nafas panjang menenangkan diri. Pelan-pelan aku berusaha mengingat lagi cara berjalan yang benar, cara berjalan yang dahulu pernah diajarkan orangtuaku, cara berjalan yang dahulu pernah diajarkan para pengasuhku yang Tuhan telah tunjukkan untukku. 
Aku benar-benar berusaha memperbaiki jalanku, saat ini aku berjalan dengan lebih berhati-hati walaupun gejolak untuk bercanda loncat-loncatan masih mendesak nafas mudaku. 
Terus berjalan hati-hati, tetap memperhatikan langkahku sendiri, tetap menyapa sopan setiap pengguna jalan lain yang kebetulan berpapasan denganku, dan berusaha selalu menahan diri memberikan jalan kepada pengguna jalan sesekali ketika mereka terlihat terburu-buru dengan langkah mereka.
Semakin lama semakin nyaman aku melangkahkan jalanku dalam kehati-hatian, semakin jauh jarak yang telah tertempuh olehku, dan semakin asyik pula pemandangan yang aku nikmati. Pemandangan baru yang benar-benar beda, pemandangan yang benar-benar bagus dan jauh lebih memukau dibandingkan pemandangan waktu aku sedang belajar berjalan dulu)
"Bagus nak! Kami bangga padamu. Tetaplah jalan dengan hati-hati, ya.." Orangtuaku tak henti untuk tetap menasehatiku dengan lembut. 
Akhirnya, aku sampai di depan sebuah gedung yang sedang dibangun. Tak sengaja aku menginjak sebuah kerikil kecil disana. Seketika aku terjerembab, tubuhku terpuruk, terlihat menjadi sangat kotor, kulihat lututku berdarah, kurasakan sendi pinggangku terkilir, dan kerikil itu membuat mukaku lebam. 
"Aduh nak, kamu tidak apa-apa?" Kata-kata lembut orangtuaku kembali terdengar, kali ini aku merasakan ada kepanikan yang mendalam walaupun begitu berusahanya beliau menyembunyikannya. Tubuh rapuh orangtuaku berusaha mengangkatku, sepertinya sangat kesulitan karena tenaga beliau tak sebanding dengan bebanku. Kulihat sekeliling, kebanyakan orang tertawa melihatku, melihat apa yang telah terjadi denganku sambil beramai melangkah menjauh, sebagian lainnya kelihatan ikut sedih, tetapi tanpa mengurangi laju jalan mereka. Hal yang membuatku sedikit terhibur adalah kulihat sebagian dari mereka berhenti sejenak sambil menunjukkan ekspresi bela sungkawa, walaupun sedetik berikutnya mereka disibukkan lagi dengan langkah mereka masing-masing. 
Kini tinggal aku yang sedang terpuruk menahan sakit, bersama orangtuaku yang sedari tadi terus berusaha mengangkatku walaupun tetap kesulitan. 
"Kemana orang-orang yang selama ini selalu menemaniku bercanda loncat-loncatan ketika kakiku masih kuat untuk berjalan jauh dan bisa meloncat tinggi? Kemana mereka?" Sambil kulihat mencari sekeliling. 
"Ah, itu mereka!" Hatiku gembira mataku mendapati sosok mereka, sepertinya mereka juga sedang bercanda loncat-loncatan acak kesana kemari semau mereka bersama orang lain lagi yang kulihat loncatannya sangat lincah. 
"Hai!! Tolong aku, teman!" Teriakku parau sambil menahan sakit. "Hai teman!! Tolong aku!"Teriakan parauku terus berulang. 
Sepertinya tidak ada respon, kulihat beberapa orang temanku menoleh sesaat kepadaku, tapi kemudian mereka kembali loncat-loncat. 
"Ah, MONYET mereka semua!! Geramku menahan rasa kesal pada teman-temanku sekaligus menahan sakit di tubuhku. Kubayangkan lagi, bagaimana kondisi tubuhku sekarang jika aku masih berjalan sambil loncat-loncat acak semauku? Padahal aku kan sudah berjalan dengan hati-hati. Yah, memang untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. 
Aku masih tetap terpuruk kesakitan di depan gedung yang sedang dibangun di sebuah negeri dalam masa perbaikan ini.. 

Jakarta, 17 Maret 2011
Bapak, maafkan aku ya..